Jumat, Mei 16, 2008

BOS Tidak Mampu Menahan Laju Kenaikan Biaya Sekolah

Pemerintah berkali-kali berteriak tentang impian sekolah gratis. Setidaknya pemerintah berusaha merealisasikan dengan memberikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dalam bayangan kita tentu saja biaya sekolah mencari ringan bahkan tidak perlu lagi bayar SPP. Beberapa saat setelah diluncurkan program BOS ini saya sempat optimis, karena kebetulan saat itu saya masih membantu satu yayasan penyantunan biaya pendidikan anak-anak jalanan dan tidak mampu, beberapa anak santunan benar-benar menerima dana tersebut dan tidak lagi perlu membayar SPP. Maka logis kalau kemudian saya sempat mengusulkan untuk menghentikan dana santunan. Tapi para orang tua mengajukan keberatan karena meski SPP telah gratis, mereka tetap terbebani biaya buku, dan les wajib yang sebelumnya tidak ada. Nah saat itu saya mulai merasa BOS ini tidak seindah yang saya bayangkan.
Masih beberapa bulan lagi, musim pendaftaran murid-murid baru dilakukan. Beberapa orang tua yang perhatian dengan pendidikan sekolah anaknya mulai mencari-cari sekolah baru. Kebetulan saya punya beberapa kenalan yang hendak memasukkan anaknya ke sekolah SD, ada juga masih mencari TK. Alangkah terkejutnya saya karena yang mereka keluhkan bukan lagi tentang kualitas pendidikan. Bagi mereka tidak sulit mencari sekolah yang berkualitas, tapi yang mereka keluhkan adalah biaya pendaftaran. Bisa anda bayangkan, untuk memasukkan anaknya ke TK yang berkualitas seorang teman saya harus rela mengeluarkan biaya awal jutaan rupiah. Ketika mencoba mencari yang kualitas standart tetap saja biaya masih memasuki kisaran tujuh digit. Tidak kalah, teman saya yang lain ketika akan memasukkan anaknya ke SD yang berkualitas, biayanya sama, tidak kurang dari tujuh digit. Gila..
Lantas iseng-iseng ketika nambal ban sepeda motor saya yang bocor karena kena paku, saya nanya-nanya tentang jumlah anak bapak penambal ban, dimana ia sekolah, kelas berapa, dan beberapa pertanyaan intermezo lainnya. Ia punya 4 orang anak, anak tertua (laki-laki) telah bekerja bukan karena telah lulus perguruan tinggi tetapi karena tuntutan ekonomi, sehingga setelah lulus SMP tidak melanjutkan sekolah. Ia harus mengalah agar adik-adiknya yang lebih kecil masih bisa sekolah. Sedangkan anaknya yang lain 2 orang sudah SMP dan satu masih SD. Anak yang kedua yang sudah kelas tiga SMP juga mulai terancam tidak bisa melanjutkan ke SLTA karena alasan yang sama, biaya. Lho kan ada BOS? Bapak itu berkata, memang SPP sudah tidak bayar, tapi biaya buku tetap aja mahal bagi dia yang hanya seorang penambal ban.
Selain itu bapak itu juga mengeluhkan tentang teman-teman sekolah anaknya yang nakal-nakal. Sejak awal sebenarnya ia juga tidak ingin menyekolahkan anaknya ditempat itu. Ia ingin anaknya sekolah dengan lingkungan yang baik, tapi untuk masuk sekolah dengan kriteria itu ia tidak mampu. Jangankan untuk sekolah, biaya awalnya saja sudah sama dengan penghasilan dia lebih dari setahun. Gila..
Sebenarnya telah ada aturan yang melarang pihak sekolah untuk melakukan pungutan kepada orang tua murid untuk mendukung misi impian BOS. Tapi secara kasat mata diberbagai sekolah kita masih bisa melihat adanya berbagai pungutan, biasanya dibebankan pada biaya pendaftaran.
Data dari Indonesian Corruption watch (ICW) menunjukkan bahwa beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh orang tua justru meningkat meski program BOS gencar dikampanyekan. Sepanjang tahun 2007 kemarin terdapat peningkatan 18,9 persen beban biaya pendidikan yang ditanggung orang tua dari tahun sebelumnya. Masih menurut ICW, dana yang dipungut jika dirata-rata mencapai Rp 1.515.740,- per siswa per tahun. Padahal dana BOS dari pemerintah hanya Rp 235.000 per tahun untuk anak SD. Dengan demikian, beban orang tua tidak hilang dengan adanya BOS, karena pihak sekolah juga cukup kreatif dalam melahirkan pungutan.

Tidak ada komentar: