Jika kita cukup ajeg mengikuti perkembangan sosialisasi ketahanan pangan di Indonesia, dalam berbagai kesempatan kita akan dapati bahwa tiap tahun kita mengalami surplus beras. Pernyataan ini dipertegas oleh SBY dalam acara panen dan tanam padi di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat beberapa hari lalu. Bahkan mulai marak diberitakan bahwa pada tahun 2009 kita akan melakukan ekspor beras karena berdasar ramalan III Badan Pusat Statistik produksi beras nasional tahun 2008 akan mencapai 60.28 juta ton gabah kering yang setara dengan 35.26 juta ton beras. Dengan kebutuhan konsumsi beras setahun sebesar 32 juta ton beras, maka tahun 2008 produksi beras Indonesia surplus 3 juta ton. Surplus inilah yang memungkinkan Indonesia bisa melakukan ekspor beras tahun depan. Jika data ini benar, bagi SBY ini adalah prestasi besar. tapi bagaimana jika data ini diambil dengan cara yang tidak akurat sehingga bisa berakibat sebaliknya, bukan surplus tapi minus. Yang perlu menjadi catatan kita adalah bahwa SBY atau BPS setiap tahun menyatakan bahwa kita surplus beras, tapi kenyataannya kita masih impor beras setiap tahun.
Data statistik produksi padi dihitung dari hasil perkalian luas panen padi dengan hasil rata-rata per hektar. Untuk mendapatkan data ini dibuatlah sampling lahan sawah model ubinan seluas 2.5 x 2.5 meter yang kemudian dikonversi ke satuan hektar. Hasil panen pada ubinan di timbang dan dikonversi ke satuan hektar. Sehingga jika diketahui luas lahan sawah yang menanam padi nasional dalam hektar, maka akan diketahui jumlah produksi padi nasional. Yang menjadi masalah adalah data statistik tentang jumlah lahan sawah yang menanam padi. Karena luas lahan panen padi yang dipakai tidak berubah dalam beberapa tahun terakhir. Mari kita simak, pada tahun 1996 luas lahan panen padi dilaporkan 11.569 juta ha, dan tahun 2001 jadi 11.500 juta ha, dan tahun 2008 meningkat menjadi 12.343 juta ha. Dibanding tahun 2007 terjadi kenaikan lahan panen sebesar 196.000 ha. Padahal konversi lahan pertanian untuk real estate, kawasan industri, pemukiman dan infrastruktu berlangsung terus menerus. Ada yang menyebut angka 70.000, 110.000 bahkan 145.000 ha pertahun. Jika dibandingkan dengan lahirnya lahan sawah baru 35.000 ha pertahun, seharusnya luas lahan panen menurun. Besarnya kekeliruan perhitungan ini diperkirakan 17%, hal ini berarti jika produksi padi kita 35.26 pada tahun 2008, masih harus dikurangi sebesar 5.994 juta ton. Dengan kebutuhan konsumsi padi sebesar 32 juta ton, pada tahun 2008 produksi padi kita bukannya surplus, tapi minus 2.734 juta ton. Nah loh..
Data statistik produksi padi dihitung dari hasil perkalian luas panen padi dengan hasil rata-rata per hektar. Untuk mendapatkan data ini dibuatlah sampling lahan sawah model ubinan seluas 2.5 x 2.5 meter yang kemudian dikonversi ke satuan hektar. Hasil panen pada ubinan di timbang dan dikonversi ke satuan hektar. Sehingga jika diketahui luas lahan sawah yang menanam padi nasional dalam hektar, maka akan diketahui jumlah produksi padi nasional. Yang menjadi masalah adalah data statistik tentang jumlah lahan sawah yang menanam padi. Karena luas lahan panen padi yang dipakai tidak berubah dalam beberapa tahun terakhir. Mari kita simak, pada tahun 1996 luas lahan panen padi dilaporkan 11.569 juta ha, dan tahun 2001 jadi 11.500 juta ha, dan tahun 2008 meningkat menjadi 12.343 juta ha. Dibanding tahun 2007 terjadi kenaikan lahan panen sebesar 196.000 ha. Padahal konversi lahan pertanian untuk real estate, kawasan industri, pemukiman dan infrastruktu berlangsung terus menerus. Ada yang menyebut angka 70.000, 110.000 bahkan 145.000 ha pertahun. Jika dibandingkan dengan lahirnya lahan sawah baru 35.000 ha pertahun, seharusnya luas lahan panen menurun. Besarnya kekeliruan perhitungan ini diperkirakan 17%, hal ini berarti jika produksi padi kita 35.26 pada tahun 2008, masih harus dikurangi sebesar 5.994 juta ton. Dengan kebutuhan konsumsi padi sebesar 32 juta ton, pada tahun 2008 produksi padi kita bukannya surplus, tapi minus 2.734 juta ton. Nah loh..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar