Senin, Februari 28, 2011

Perilaku Agresif : Karena Genetis Atau Lingkungan?

Setiap tahunnya, jumlah tindak kejahatan kekerasan (violent crime) di Indonesia seperti pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan penyerangan terus meningkat. Pada tahun 2004 diperkirakan jumlah tindak kejahatan kekerasan yang terjadi sekitar 196.931 kasus sedangkan pada tahun 2005 jumlah tindak kejahatan kekerasan yang terjadi sekitar 209.673 kasus (www.tempointeraktif.com). Tindakan kejahatan kekerasan yang terus meningkat ini merupakan contoh dari perilaku agresif yaitu perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain (Myers, 1996). Berdasarkan penyebabnya, perilaku agresif ini dapat terjadi karena faktor disposisi/kepribadian (nature) dan faktor situasional (nurture).

Pada penelitian awal mengenai perilaku agresif, Freud (1930-1963) percaya bahwa agresif adalah bagian dari sifat dasar manusia yang innate, independent, dan instinctive. Menurutnya, agresif adalah salah satu naluri dasar manusia yaitu naluri untuk mati (thanatos/death instinct) yang bertujuan untuk mempertahankan jenisnya (survival). Bentuk dari thanatos/death instinct ini adalah naluri agresif yang menyebabkan seseorang ingin menyerang orang lain, berkelahi, berperang, atau marah. Pandangan serupa juga diajukan oleh Konrad Lorenz, ilmuwan pemenang hadiah nobel. Menurut Lorenz (1974), perilaku agresif terutama berasal dari insting berkelahi (fighting instinct) yang diwariskan (inherited) untuk memastikan bahwa hanya pria yang terkuat yang akan mendapatkan pasangan dan mewariskan gen mereka pada generasi berikutnya.

Di sisi yang lain, kritik yang banyak bermunculan terhadap pendukung teori nature menunjukkan bahwa kelompok teori ini belum dapat menjelaskan dengan tepat pengaruh faktor disposisi/kepribadian terhadap perilaku agresif. Kekurangan dari teori ini adalah tidak memperhatikan keanekaragaman yang terdapat pada tiap individu yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Jika perilaku agresif memang disebabkan oleh faktor bawaan (misal: naluri, gen), seharusnya perilaku agresif tersebut sama untuk setiap orang yang memiliki naluri atau gen tersebut kapan saja dan dimana saja. Pada kenyataannya, frekuensi dan cara tiap individu dalam mengekspresikan agresivitasnya berbeda-beda tergantung lingkungan tempat ia tinggal. Contoh: di Norwegia, angka pembunuhan sangat rendah yaitu tidak sampai 1 orang dalam 100.000 penduduk tetapi di Irlandia jauh lebih tinggi yaitu 13 orang dalam 100.000 penduduk dan di Muangthai mencapai 14 orang dalam 100.000 penduduk (data tahun 1970, dikutip dari Archer & Gartner, 1984).

Melihat banyaknya kritik yang bermunculan, para ahli psikologi lainnya berusaha untuk menjelaskan perilaku agresif dari sudut pandang yang berbeda yaitu berdasarkan faktor situasional (nurture). Salah satu teori yang muncul adalah teori social learning perspective (e.g., Bandura, 1997) yang berawal dari sebuah ide bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara mengalaminya secara langsung (direct experience) atau dengan mengobservasi tingkah laku manusia lainnya (Anderson & Bushman, 2001; Bushman & Anderson, 2002). Dengan demikian, berdasarkan pengalaman masa lalu mereka dan kebudayaan dimana mereka tinggal, individu mempelajari: (1) berbagai cara untuk menyakiti yang lain, (2) kelompok mana yang tepat untuk target agresi, (3) tindakan apa yang dibenarkan sebagai tindakan balas dendam, (4) situasi atau konteks apa yang mengizinkan seseorang untuk berperilaku agresif. Singkatnya, teori social learning perspective berusaha menjelaskan bahwa kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif tergantung pada banyak faktor situasional, yaitu: pengalaman masa lalu orang tersebut, rewards yang diasosiasikan dengan tindakan agresif pada masa lalu atau saat ini, dan sikap serta nilai yang membentuk pemikiran orang tersebut mengenai perilaku agresif.

Proses-proses belajar sosial yang dapat menimbulkan perilaku agresif:
1. Classical conditioning. Perilaku agresif terjadi karena adanya proses mengasosiasikan suatu stimulus dengan stimulus lainnya. Contoh: pelajar STM X yang sering tawuran dengan pelajar STM Y akan mengasosiasikan pelajar STM Y sebagai musuh/ancaman sehingga mereka akan berperilaku agresif (ingin memukul/berkelahi) ketika melihat pelajar STM Y atau orang yang memakai seragam STM Y.
2. Operant Conditioning. Perilaku agresif terjadi akibat adanya reward yang diperoleh setelah melakukan perilaku agresif tersebut. Reward tersebut bersifat tangible (memperoleh sesuatu yang dia mau), sosial (dikagumi/disegani oleh kelompoknya), dan internal (meningkatkan self-esteem orang tersebut). Contoh: A sering berkelahi dan menganggu temannya karena ia merasa disegani oleh teman-temannya dengan melakukan tindakan agresif tersebut.
3. Modelling (meniru). Perilaku agresif terjadi karena seseorang meniru seseorang yang ia kagumi. Contoh: seorang anak kecil yang mengagumi seorang petinju terkenal akan cenderung meniru tingkah laku petinju favoritnya tersebut, misalnya menonjok temannya.
4. Observational Learning. Perilaku agresif terjadi karena seseorang mengobservasi individu lain melakukannya baik secara langsung maaupun tidak langsung. Contoh: seorang anak kecil memiting tangan temannya setelah menonton acara Smack Down.
5. Social Comparison. Perilaku agresif terjadi karena seseorang membandingkan dirinya dengan kelompok atau orang lain yang disukai. Contoh: seorang anak yang bergaul dengan kelompok berandalan jadi ikut-ikutan suka berkelahi atau berkata-kata kasar karena ia merasa harus bertingkah laku seperti itu agar dapat diterima oleh kelompoknya.
6. Learning by Experience. Perilaku agresif terjadi karena pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh orang tersebut. Contoh: anak yang sejak kecil sering mengalami perilaku agresif (berkelahi/dipukuli) cenderung akan menjadi anak yg agresif (suka berkelahi).

Melihat uraian-uraian di atas, penulis sependapat dengan Anderson & Bushman bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara mengalaminya secara langsung (direct experience) atau dengan mengobservasi tingkah laku manusia lainnya. Menurut penulis, individu yang tidak mempunyai sifat agresif cenderung akan menampilkan perilaku agresif jika ia telah mempelajarinya dari lingkungannya. Sebaliknya, individu yang mempunyai sifat agresif cenderung tidak akan menampilkan perilaku agresif jika lingkungannya tidak mendukung atau mengajarinya berperilaku agresif. Hal ini dibuktikan melalui eksperimen klasik dengan boneka Bobo yang dilakukan oleh Bandura & Ross (Bandura, Ross, & Ross, 1961). Dalam eksperimen ini, pada kelompok murid TK yang pertama ditampillkan video yang berisi perilaku agresif (memukul, menendang, membanting boneka Bobo) sedangkan pada kelompok murid TK yang kedua ditampilkan video yang tidak berisi perilaku agresif. Hasilnya, kelompok murid TK yang pertama berperilaku jauh lebih agresif dibandingkan dengan kelompok murid TK yang kedua bahkan mereka meniru adegan-adegan yang terdapat dalam video yang berisi perilaku agresif.

Selain itu, penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa pada hewan yang lebih rendah, banyak respons yang selama ini dianggap instinctive murni ternyata sebenarnya adalah respons yang dipelajari. Contoh: seekor kucing muda memburu tikus bukan karena instingnya tetapi karena mereka mempelajari perilaku itu dengan melihat kucing lain yang lebih tua (Kuo, 1930). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif lebih merupakan perilaku yang dipelajari dari lingkungan (nurture) daripada perilaku yang diwariskan (nature).

Tulisan ini dikutip dari penulis asli, Ricci Saadi Wijaya S.Psi

2 komentar:

paijo mengatakan...

wuih..keren postingnya.
lanjutkan..

wiwi aja mengatakan...

aslm.Dalam tulisan ini oleh"Ricci" amat mengesankan , karena ada keseimbangan dalam setiap argumen yang dikemukakan , dari berbagai pendapat para ahli, sehingga pembaca dapat melihat secara jelas runtutan dari perkembangan pemikiran yang muncul dari masa ke masa , terhadap suatu persoalan yakni"Agresifitas"