Senin, April 14, 2008

Pembentukan Akhlaq Karena Faktor Perasaan dan Pikiran

Berbicara tentang akhlaq sebenarnya bukan suatu hal yang sederhana, ia adalah sesuatu yang teramat kompleks. Dan saya sepenuhnya sadar bahwa membahas pembentukan akhlaq dari faktor perasaan dan pikiran bukan berarti saya memaksudkan bahwa akhlaq hanya dibentuk dua hal ini. Baca juga artikel saya tentang struktur terbentuknya akhlaq/kepribadian. Seluruh artikel saya yang membahas tentang pembentukan akhlaq memiliki asumsi dasar sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel tersebut. Perasaan dan pikiran hanyalah salah satu faktor pembentuk akhlaq. Artikel ini ditulis sekedar untuk menunjukkan bagaimana sistem kerja perasaan dan pikiran dalam membentuk akhlaq dan khas akhlaq yang dibentuknya.

Pengertian Perasaan
Beberapa teori psikologi menyebut perasaan sebagai segala sesuatu yang kita rasakan. Tapi coba perhatikan contoh berikut ini. "Sakit hatiku mendengar kata-katamu!" dan "sakit telingaku saat kau berteriak keras didekat telingaku". Kata "sakit" dari dua contoh diatas jelas memiliki pengertian yang berbeda meski sama-sama berdimensi rasa. Rasa sakit pada pernyataan pertama tidak bersifat fisiologis. Maka kalau ditanya dimana letak sakit itu, kita tidak bisa menyebut secara pasti, orang-orang menyimbolkan letak sakit itu berada di hati. Sedangkan pada kata sakit pernyataan yang kedua bersifat fisiologis, karena itu kalau kita ditanya dimana letak rasa sakit itu, kita bisa menyebut telinga, karena rasa sakit itu memang berada ditelinga.
Kedua kata sakit diatas sama-sama berbicara tentang rasa tapi dalam dimensi yang berbeda. Yang satu berdimensi psikologis (kejiwaan) dan yang satu berdimensi fisologis (fisik). Dapat kita tebak, manakah yang disebut perasaan ? Ya. Jawabannya adalah yang pertama.
Ada perbedaan yang mendasar antara rasa yang dirasakan oleh jiwa (perasaan) dan yang dirasakan oleh fisik. Jika kita menusuk tangan (indra kulit) 10 orang dengan menggunakan jarum, maka kesepuluh orang tersebut akan merasakan sakit pada tangan mereka. Tapi berbeda, jika kita hadapkan satu peristiwa, taruhlah contoh peristiwa meninggalnya ayah, pada 10 orang yang berbeda. Tiap orang akan merasakan sesuatu yang berbeda. Yang satu mungkin akan histeris, sedangkan yang lain bisa jadi sedih tapi tidak sampai histeris, dan yang lainnya mungkin dianggap biasa. Orang hidup cepat atau lambat akan meninggal dunia. Dari dua peristiwa diatas dapat kita ambil kesimpulan. Rasa sakit (indrawi) bersifat statis dan mekanistis, tetapi perasaan bersifat dinamis.
Jadi, perasaan adalah salah satu fungsi merasa bagi jiwa, seperti perasaan marah, sedih, bahagia, gembira, malas, bosan, dsb. Sedangkan rasa sakit seperti sakit pada kulit yang terluka, bau harum, suara yang memekakkan telinga atau rujak yang pedas bukanlah fungsi perasaan, tetapi fungsi indrawi.

Ciri Khas Perasaan
1. Subyektif. Kesukaan saya terhadap tempe hangat, termasuk jika dibandingkan dengan ayam goreng, terkesan tidak obyektif. Dari tinjauan nilai gizi jelas ayam lebih bergizi. Dari unsur bahan, daging lebih enak daripada kedelai (saya bukan seorang vegetarian). Dari unsur harga, meski terkesan ayam lebih mahal, tapi saya pernah beli sepotong ayam seharga seribu sama dengan harga tempe. Secara obyektif seharusnya ayam lebih dipilih daripada tempe hangat. Tapi bagi saya beda. Bagi saya tempe lebih punya "teste". Saya ga peduli orang mau bilang apa, suka-suka gue mau suka apa. Inilah subyektifitas saya tentang tempe hangat. Sangat mungkin setiap orang memil iki selera perasaan yang berbeda-beda. Terserah dia secara subyektif.

2. Mudah Berubah. Apa yang kita benci hari ini, bisa jadi menjadi kita sukai keesokan hari. Apa yang anda rasakan saat ini ketika membaca artikel ini akan berubah ketika anda membacanya kembali di lain waktu. Nasi goreng yang terasa nikmat saat kita sarapan sangat mungkin membosankan bagi kita kalau kita memakan menu yang sama siang harinya. Begitulah, perasaan kita senantiasa berubah-ubah. Namun kadar perasaan itu sangat dipengaruhi oleh prosesnya. Sebuah proses yang lama akan melahirkan perasaan yang lebih mendalam dibandingkan dengan proses yang cepat. Orang yang jatuh cinta karena proses pembiasaan akan lebih bertahan daripada yang cinta pada pandangan pertama.

3. Tidak Berdiri Sendiri. Perasaan tidak bisa muncul tanpa adanya stimulasi atau berhubungan dengan proses jiwa yang lain. Perasaan baru muncul ketika kita melakukan pengamatan, atau berfantasi atau berpikir, atau ketika mengindra. Perasaan tidak akan merasakan apa-apa jika tidak ada stimulus apapun.

4. Mengandung Penilaian. Dalam merasa sebenarnya kita membandingkan dengan perasaan-perasaan yang pernah kita rasakan sebelumnya, sebelum kemudian kita menilai. Ini menyenangkan atau tidak menyenangkan. Apa yang menyenangkan bagi seseorang belum tentu menyenangkan bagi orang lain. Seseorang mungkin sangat menyenangi uang karena pernah merasakan nikmatnya punya uang atau karena menderitanya orang tidak punya uang.

5. Bekerja berdasar prinsip kesenangan. Perasaan tidak memilih apa yang benar-salah atau baik-buruk. Ia hanya memilih berdasar prinsip kesenangan. Mana yang menyenangkan bagi jiwa itu yang selalu ia pilih. Perasaan tidak pernah memilih jalan penderitaan. Setiap penundaan terhadap kesenangan akan menimbulkan penderitaan, karena itu ia bersifat hedon.

Cara Bekerjanya Perasaan
Untuk menjelaskan proses bekerjanya perasaan tidak bisa diamati pada kasus remaja atau orang dewasa, karena pilihan-pilihan atau respon-respon remaja dan orang dewasa sudah mengalami kompleksitas yang luar biasa. Maka untuk mengamati cara kerja perasaan adalah dengan melihat anak kecil yang asumsinya pola merespon dia belum menggunakan pikiran dan nilai secara maksimal.
Pertama, bayi harus memulai pengalaman rasa dengan melakukan pengindraan. Dari mulutnya ia merasakan manis, asam, asin. Dari hidungnya ia mencium bau-bauan. Dari telinga ia mendengar sapaan orang-orang di sekelilingnya. Dari mata ia bisa melihat ekspresi wajah orang-orang disekelilingnya, dst. Pengalaman rasa itu disimpan dalam memori. Ia juga memori reaksi-reaksi orang-orang di sekelilingnya ketika ia melakukan sesuatu. Itulah pengalaman-pengalaman perasaan yang pertama-pertama. Ia menggunakan instingnya untuk mendapatkan pengalamannya yang pertama dn dengan itulah ia merespon setiap stimulus. Jangan heran jika perilaku bayi banyak bersifat trial-error (mencoba-coba). Ketika ia mulai beranjak besar, ketika ia sudah mulai bisa memilih-milih, maka pilihan-pilihan itu tidak lagi berdasarkan insting semata, tetapi juga karena melalui perbandingan perasaan yang ia dapatkan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Ia memilih apa yang menyenangkan bagi dia. Maka karena itu, secara potensial perasaan senantiasa mengarahkan hanya pada kesenangan semata. Ia tidak pernah mengarahkan pilihan individu pada perasaan sakit atau menderita. Inilah prinsip kerja perasaan.
Lantas, bagaimana penjelasan orang yang rela memilih untuk menderita. Seperti ketika seseorang harus memilih antara jalan hidup yang benar menurut logika dia walaupun harus merasakan penderitaan dengan dikucilkan atau bahkan disingkirkan dari keluarga. Bukankah ia lebih memilih menderita daripada bahagia.
Benar, pada banyak kasus kita menemukan orang-orang lebih memilih menderita daripada bahagia. Tapi ingat, pilihan itu bukan berdasarkan perasaan. Pada banyak kasus orang lebih rela menderita karena lebih memilih apa yang ia anggap benar (kebenaran). Pilihan ini tidak didasarkan perasaan tetapi kelogisan, hasil pemikiran yang logis yang menurut ia benar dan karena kebenaran itu ia rela menderita perasaan. Sehingga, seandainya kita abaikan faktor pemikiran, pastilah seseorang akan memilih kebahagiaan. Kalau kita bertanya pada setiap individu, "apa sebenarnya yang kamu cari dalam hidup ini ?" jawabannya hanya ada dua, "kebahagiaan" atau "kebenaran". Yang satu berdimensi perasaan dan satu berdimensi pikiran. Begitulah, secara alamiah perasaan akan mengarahkan manusia pada pilihan yang membahagiakan, tapi interupsi pikiran dapat merubah alur alamiah ini. Sehingga respon-respon kita terhadap stimulasi tidak hanya mengikuti arahan perasaan saja. Maka kita juga perlu mengetahui bagaimana cara bekerjanya pikiran sehingga kita juga dapat mengetahui kapan pikiran akan mengiterupsi arahan perasaan itu.

Pengertian Pikiran dan Berpikir
Pikiran adalah hasil dari berpikirnya manusia. Namun apa yang disebut dengan berpikir itu ? Banyak orang menyatakan bahwa orang berpikir ketika ia menghadapi masalah. Sekilas pernyataan ini tidak ada yang salah. Tapi coba saya sedikit berputar. Pernakah kita ketika dalam keadaan sadar benar-benar berhenti berpikir. Tentu tidak pernah. Setiap saat kita senantiasa berpikir. Kalau setiap saat kita selalu berpikir, padahal tadi kita mendefinisikan berpikir adalah upaya untuk memecahkan masalah, dengan demikian apakah manusia senantiasa menghadapi masalah sehingga ia tidak pernah benar-benar berhenti berpikir. Lantas kalau begitu apa beda sesuatu dikatakan masalah dan tidak ? Bingung ? OK, akan saya permudah.
- Orang berfikir karena ada masalah.
- Orang tidak pernah berhenti berpikir
- Maka orang senantiasa berhadapan dengan masalah
- Kalau orang senantiasa menghadapi masalah yang terus menerus, ia tidak pernah merasakan kondisi tanpa masalah
- Kalau begitu apa bedanya masalah dengan bukan masalah
Dari pernyataan diatas kita tahu ada satu kesalahan yang berputar. Maka kita harus kembali pada fakta. Satu-satunya pernyataan yang tidak disangsikan kebenarannya adalah "Orang tidak pernah berhenti berpikir". Tidak percaya ? Coba sebut saat mana ketika dalam keadaan sadar anda benar-benar berhenti berpikir. Nah.. tidak ada kan. Sedangkan pernyataan-pernyataan yang lain kebenarannya dapat diuji dengan menguji kebenaran pernyataan, "Orang berfikir karena ada masalah". Apakah benar orang berfikir hanya ketika menghadapi masalah. Bahwa ketika kita menghadapi masalah kita berpikir, ya, tapi berpikir tidak harus menunggu ada masalah. Apa yang disebut dengan masalah adalah adanya kesenjangan antara nilai-nilai kebenaran yang kita anut dengan fakta yang terjadi. Ketika kita melihat peristiwa mahasiswa tidur di kelas. Bagi dosen yang menganggap tugasnya hanya menyampaikan kuliah, bukan mendidik mahasiswa, maka mahasiswa yang tidur tidak dianggap masalah karena tidak bertentangan dengan nilai yang ia anut. Bagi bagi dosen yang mendidik, mahasiswa yang tidur di dalam kelas dianggap masalah karena itu bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan. Maka ia melakukan evaluasi apa sebab mahasiswa tidur. Apakah karena memang mahasiswanya yang bermasalah atau kepengajaran dosen yang bermasalah sehingga menimbulkan kebosanan dan ketiduran.
Jika definisi masalah kita batasi demikian, maka tidak selamanya kita menghadapi masalah. Ada satu peristiwa yang bagi kita tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang kita anut. Maka anda bisa simpulkan sendiri pernyataan-pernyataan yang lain. Lantas apa yang disebut dengan berpikir itu?
Sebenarnya dalam berpikir kita menjalankan salah satu dari 3 fungsi berikut ini : (1) Membangun pengertian (2) Membangun kesimpulan (3) Melakukan pemilihan/pendapat/keputusan. Selama ini yang dimaksud bahwa kita senantiasa berpikir adalah fungsi membangun pengertian yag dimiliki oleh proses berpikir. Setiap kita bertemu dengan sesuatu yang baru maka kita berusaha membangung pengertian atas realitas yang baru. Dan pada kenyataannya kita hampir tidak pernah menemua suatu yang benar-benar sma persis baik bentuk, situasi dan kondisi. Maka karena itu kita hampir senantiasa membangun pengertian-pengertian yang baru. Oleh karena itu, dalam metode diskusi yang akan menyampaikan berbagai pendapat yang memungkinkan berbeda, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangun pengertian yang sama terhadap hal yang hendak didiskusikan. Kalau hasil pengertian kita ini tidak langsung digunakan, karena motif berpikir kita tidak hendak memecahkan masalah tapi juga karena sekedar ingin tahu (kuriositas), maka pengertian ini disimpan dalam memori dan sewaktu-waktu kita pakai ketika dibutuhkan.
Setelah membangun pengertian individu baru bisa memasuki fungsi selanjutnya. Ketika kumpulan pengertian yang kita miliki akan digunakan untuk diskusi atau memcahkan masalah, tidak lantas kita hanya memiliki satu pengertian/pemahaman saja. Justru kita akan membandingkan seluruh pengertian yang berhubungan dengan obyek masalah. Dari berbagai pengertian itu kita memilih salah satu yang menurut kita benar atau pas dengan kita. Inilah yang disebut dengan membangun kesimpulan. Fungsi kedua ini dibutuhkan untuk kemudian kita mengambil sikap/keputusan/respon atas hal yang kita pikirkan.

Mekanisme Kerja Pikiran
Mekanisme kerja pikiran sebenarnya tidak berbeda dengan perasaan. Perbedaannya hanya terletak pada prinsip kerjanya. Kalau perasaan menggunakan prinsip kerja berdasarkan kesenangan maka pikiran menggunakan prinsip kerja kelogisan/benar-salah. Apa yang dipikirkan itu tidak berhubungan dengan enak-tidak enak, nikmat-tidak nikmat, atau senang-tidak senang, tetapi berbicara tentang benar-salah, baik-buruk. Sehingga secara alamiah, berpikir akan mengarahkan individu untuk melakukan respon berdasar kebenaran. Lantas bagaimana dengan orang yang lebih memilih satu hal yang salah meski ia tahu itu adalah salah. Seperti ketika orang mencuri, melacur, membunuh dan menganiaya, sebenarnya ia tahu bahwa itu adalah perbuatan yang salah tapi mengapa tetap dipilih sebagai respon. Setelah membaca mekanisme kerja perasaan anda pasti bisa menjawab, penyebabnya adalah karena ada interupsi dari perasaan. Orang tersebut tidak memilih kebenaran tapi kesenangan. Dengan melakukan perbuatan yang salah mereka merasakan kesenangan atau kepuasan. Jadi, pikiran dan perasaan dapat saling mengintervensi proses alamiah masing-masing fungsi jiwa tersebut. Ya benar!

Khas Akhlaq Karena Faktor Perasaan dan Pikiran
Dikarenakan perasaan pikiran dapat saling mengiterupsi proses selainnya maka dapat disusun klasifikasi sebagai berikut :
Akhlaq yang didominasi akal cenderung pandai mengkaitkan data-data dalam pemecahan masalah. Tapi akhlaq yang didominasi pikiran biasanya kepekaan sosialnya kurang.

Akhlaq yang didominasi perasaan cenderung mau menang sendiri atau malah teramat mengutamakan kepentingan orang lain tanpa banyak mempertimbangkan hak-hak pribadi. Biasanya juga lemah di proses pemecahan masalah.

Secara alamiah individu pasti mengarahkan akhlaqnya pada keseimbangan antara pikiran dan perasaan. Ia akan senantiasa mencari kebenaran yang membahagiakan. Maka jika didapatkan orang yang bisa membangun keseimbangan pikiran dan perasaannya ia akan dapat menempatkan secara tepat antara hak-hak dan kewajibannya.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Assalamu'alaikum bapak guru Yudi,
Disadari memang dalam memahami teori mengenai bagaimana mekanisme kerja jiwa manusia tidaklah mudah...
karena hal tersulit yang biasanya dialami manusia, terutama saya adalah bagaimana mengenal dan memahami kerja jiwa kita dalam berbagai macam kondisi aktual yang terjadi sehari-hari.....ya tentu saja bagaimana kita mengendalikan jiwa kita agar gak membuat keputusan yang seenaknya sendiri...
Btw, mohon bimbingannya ya pak...
Terima kasih!!!
(semoga blognya jadi rame dengan adanya komentar dari saya ini)
hehehe....

RaRa Wulan mengatakan...

artikel yang bagus...
saya jadi tau tentang perasaan dan pikiran...
terima kasih sudah memposting artikel ini sangat bermanfaat bagi saya

Anonim mengatakan...

mantap pak....
ijin kopy paste ya....

Anonim mengatakan...

mantap pak,
ijin kopy paste ya....